Sabtu, 18 April 2009

3 Langkah Menuju Keluarga Yang Harmonis

Mungkin sudah banyak orang yang pernah membaca buku (saya menyebutnya guidence) karya Linda dan Richard Eyre ini. Buku ini termasuk buku lawas yang di Indonesia terbit pada tahun 1994. Sampai sekarang saya masih menyimpan dan berharap suatu saat dapat mempraktekan isi dari buku ini tentunya disesuaikan dengan kondisi keluarga saya.
Ada 3 hal penting yang harus ada dalam setiap keluarga menurut mereka, yaitu Tata hukum Keluarga, Tata Ekonomi Keluarga dan Melakukan Tradisi Keluarga. Alasannya (tentu sangat masuk akal) bahwa semua ini akan mempersiapkan anak-anak yang kelak akan terjun ke dunia nyata, semua ini akan membantu kita tetap sehat secara rohani dan lebih menikmati keluarga kita serta semua ini akan membantu kita membuat anak-anak merasa berharga, cocok dan aman dalam zaman dimana ketiganya semakin sulit ditemukan.
Dalam buku ini juga banyak disajikan kisah nyata yang sering membuat saya he he he...tersindir. Contohnya tentang seorang teman wanita penulis yang rumahnya selalu rapi, anaknya selalu patuh dan mendapatkan nilai A. Akan tetapi, fisik wanita tersebut semakin lemah dan keteganggannya disalurkan pada anak-anak. Ia merasa bertanggung jawab atas segala urusan rumah tangganya. Ia merasa jika semenit saja ia lengah, dunianya akan runtuh berantakan..... wah miriplah sedikit dengan kondisi saya akhir-akhir ini yang sering sesak napas jika 3 pangeran kecil saya sudah berkumpul dan memporakporandakan seisi rumah.
Dari buku ini saya belajar bahwa prilaku atau karakter anak akan sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka dapatkan di rumah sewaktu mereka masih kecil. Disiplin, konsistensi, kerjasama, mau berbagi, menghargai waktu dan uang, kebersamaan dalam keluarga dan masih banyak hal lain yang positif dipelajari di rumah.. Memang tidak semudah membalikan telapak tangan, karena di buku ini juga Linda dan Richard membuktikan bahwa memetik hasil dari pengajaran yang mereka berikan butuh waktu dan kesabaran yang tinggi. Yang menarik, mereka tidak mentargetkan prestasi akademis pada anak-anak mereka. Mereka cenderung menekankan pada pembentukan karakter dan life skill anak-anak mereka.
Saya akan mencobanya dan menuliskan penglaman saya dengan 3 langkah ini....

Rabu, 25 Maret 2009

Antara Aritmetika dan Matematika

Kemarin saya mewakili Funmath diundang Mizan untuk menghadiri presentasi mengenai metode Jarimatika. Saya dan Bu Fath sebenarnya sudah sama-sama setuju bahwa metode sempoa dan jarimatika kurang pas untuk diperkenalkan pada anak-anak. Mengapa sampai sekarang masih banyak yang menggunakannya? Kerena unsur bisnis lebih dikedepankan daripada proses pembentukan karakter anak dan pengasahan logika anak.
Pada awalnya, pemberi materi menyampaikan bahwa usia anak TK B sampai kelas 3 SD tidak bisa menerima sesuatu yang abstrak, sehingga dalam penyebutan tangan kanan dan kiri diganti dengan tangan bergelang merah dan tangan bergelang kuning. Setelah itu didemokanlah cara menghitung cepat dengan jari. Berlawanan dengan konsep anak harus konkrit tadi, ketika sampai pada angka 5, dilambangkan dengan membuka jari jempol. Bingung kan? Itu kan jumlahnya satu... Putra Bu Fath, Al (7 th) berkomentar,"Aneh ya bu itu kan jumlahnya satu".
Ketika mendemonstrasikan perkalian dan pembagian, menurut kami bukan kemudahan yang didapatkan, tetapi kebingungan. Ketika Pemateri menanyakan hasil perkalian 6 digit dikalikan 4 digit, Bu Fath berkomentar, "Mengapa tidak menggunakan kalkulator saja?"
Pada sesi tanya jawab, saya mencoba bertanya apa manfaat metode ini pada anak dan pendapat pemateri tentang pernyataan seorang guru besar matematika yang menyatakan bahwa cara menghitung cepat yang instan ini hanya membebani otak anak dan tidak mengasah logika berpikir anak. Pemateri hanya menjawab bahwa metode ini bertujuan untuk menyiapkan mental anak dalam berhitung dan memang tidak melatih logika anak karena logika anak adanya dalam matematika. Jadi menurut beliau, aritmetika bukanlah matematika dan dalam pengajaran metode ini hanya mengajarkan operasional tambah, kurang, bagi dan kali.
Wah, semakin tidak jelas nih, mau dijadikan apa anak-anak kita kelak? Apakah mau menggantikan fungsi kalkulator? Padahal matematika itu kan mengasah logika berpikir anak dan sangat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, jika kita diberi soal 1+2+3+4+....+99, apakah kita akan menghitung dengan metode jarimatika? Akan sangat memakan waktu. Tetapi jika kita berpikir menggunakan logika, kita dapat membuat rumus dari pola tersebut dan dengan mudah mengetahui hasilnya.
Sebenarnya banyak dampak negatif dari metode berhitung cepat seperti sempoa dan jarimatika ini... salah satunya adalah siswa menjadi tidak menghargai guru. Mereka cenderung sombong dan menganggap rendah guru ketika guru menjelaskan proses operasional berhitung. Mereka menganggap diri mereka paling hebat dalam berhitung dan tidak mau mendengarkan apa yang disampaikan gurunya.
Di sisi lain, metode ini sangat laku dikalangan orang tua yang senang dengan sesuatu yang berbau instan. Mereka sangat bangga bisa memamerkan kemampuan anak dalam berhitung cepat tanpa mengetahui dampak negatif dari metode ini. Mereka pikir jika anak bisa berhitung cepat, mereka akan menjadi pintar dalam matematika. Kebanyakan orang tua mulai sadar bahwa metode ini kurang berguna setelah anak-anaknya duduk di kelas 4 SD, dimana dalam pelajaran matematika mulai banyak digunakan logika berpikir. Seperti pengalaman Bu Fath yang beberapa kali didatangi orang tua yang kecewa dengan metode ini. Mereka mengatakan bahwa anak mereka nilai matematikanya tidak baik dan tidak bisa berpikir analitis....
Sebuah pelajaran bagi orang tua dan praktisi pendidikan lainnya. Bijaklah dalam memilih kegiatan bagi anak-anaknya... banyaklah belajar dan membaca....jadilah orang tua dan pendidik yang profesional!!! Masa depan negri ini ada di tangan anak-anak kita!!!

Rabu, 18 Februari 2009

Anak-anaku : the best teachers

Anak adalah anugrah yang diberikan Allah kepada kita. Anak memiliki kemurnian hati dan pikiran sehingga mereka bisa mengajarkan kepada kita tentang ketulusan, cinta kasih, kebersamaan, rasa syukur pada ciptaan Allah, kesederhanaan, tolong menolong, empati, berkomunikasi... dan masih banyak lagi.
Kehadiran anak bisa mengubah seorang ibu rumah tangga biasa menjadi seseorang yang luar biasa. Karena anak, seorang ibu bisa menjadi pencipta lagu, penyanyi, koreografer, juru masak yang hebat, ahli perencana keuangan, guru andalan, pendongeng hebat, super trainer.... bahkan menjadi pelatih sepak bola.
Anak adalah sumber inspirasi yang tidak ada habis-habisnya.
Terima kasih guru-guru kecilku.....

Sabtu, 14 Februari 2009

Kata 'jangan' yang dahsyat

Dulu saya sering heran kenapa setiap ahli tumbuh kembang anak yang saya temui mengatakan "ibu jangan terlalu sering menggunakan kata jangan untuk anak". Wah, ada apa dengan kata 'jangan'? Kan pernyataan mereka juga menggunakan kata 'jangan'.
Inilah hasil penelusuran saya....

Bayangkan kita semua berada di gurun pasir yang luar biasa panasnya, tapi jangan bayangkan ada seorang penjual es krim yang sedang menjual es krim strawberry. Jangan bayangkan juga es krim strawberrynya diberi toping coklat dan di dalamya terdapat potongan potongan kecil buah strawberry segar.
Apa yang ada di pikiran kita sekarang? Tentunya 'profil' es krim strawberry yang dilarang dibayangkan tadi.....

Itulah sebabnya kita tidak boleh terlalu sering menggunakan kata jangan. Itulah sebabnya kalau kita melarang dengan kata jangan, anak kita malah penasaran dan melakukan apa yang kita larang tadi. Kata 'jangan' memang dahsyat.... karena kalau kita menggunakan kata 'jangan' maka yang pertama kali terekam dalam otak kita adalah kata-kata setelah kata'jangan' tadi. Contoh lainnya, kalau kita melarang anak kita dengan kata-kata 'jangan main', dan yang ada di benak anak kita adalah main... mmm bermain itu kan asyik....maka jangan salahkan dia kalau dia langsung bermain.

wonder woman

Tulisan ini saya dapatkan dari sahabat saya, kakak saya.... ibu Ira. Beliau ini punya kesamaan dengan sama, ingin menjadi wonder woman....bisnis n keluarga sama-sama jalan. Hasilnya..... curhat-curhat ringan yang saling menguatkan n kesepakatan bahwa keluarga adalah prioritas nomer 1

Wanita cantik melukiskan kekuatan lewat masalahnya
Tersenyum saat tertekan, tertawa disaat hati sedang menangis,
memberkati disaat terhina, mempesona karena memaafkan
Wanita cantik mengasihi tanpa pamrih dan bertambah kuat dalam do'a dan pengharapan

tulisan ini dikirim via SMS bulan September 2008 dan sampai sekarang masih saya simpan. Thanks bu Ira

Senin, 09 Februari 2009

Perlukah memberi nilai merah pada raport anak?

Ini adalah sebuah kisah nyata di dunia pendidikan negara kita....
Ada seorang anak bernama Adi, dia duduk di kelas 4 SD yang menganut sistem full day. Pada saat kenaikan kelas, di raport Adi tertera angka 3 yang ditulis dengan tinta merah pada pelajaran matematika.
Apa yang terjadi selanjutnya? Gara-gara angka merah itu Adi jadi minder, jadi pemurung dan yang paling parah adalah tidak ada semangat untuk pergi ke sekolah. Bunda Adi sangat sedih dan bingung melihatnya. Kemudian bunda Adi pergi menemui seorang konsultan pendidikan dan menceritakan pengalaman Adi.
Konsultan tersebut mendatangi sekolah Adi dan meminta sekolah mengevaluasi sistem pendidikan di sekolahnya. Beliau mempertanyakan apakah sekolah mempertimbangakan kondisi psikologis anak jika diberi angka merah?
Kembali ke masalah dasar pendidikan di Indonesia. Sistem pelajaran dan penilaian yang disusun oleh DIKNAS sampai saat ini lebih mengarah kepada unsur kompetensi. Artinya, siswa harus belajar, menghapal agar dapat sekedar lulus ujian. Setelah itu.... tidak tahu lagi kemana mengarahkannya.
Seharusnya kan anak-anak memahami dulu tujuan belajar itu apa, kenapa mereka harus belajar, apa yang akan terjadi jika mereka tidak mau belajar... Yang harus dikedepankan adalah motivasi mereka untuk belajar, bukan memaksakan mereka belajar agar mendapat nilai yang tinggi.
Sungguh kasihan anak yang disekolahkan oleh orang tuanya untuk mendapatkan ilmu, untuk membentuk karakter yang baik, malah akhirnya tidak mendapatkan semuanya.... Cobalah berempati pada anak.... cobalah bayangkan masa depan anak itu..... jika setelah mendapatkan nilai merah dia menjadi tidak mau belajar, minder, putus asa.... Anak-anak seperti itulah yang kelak akan menjadi sampah masyarakat. Merekalah orang-orang yang merasa tidak dihargai dan mereka mencari perhatian dari orang-orang di sekitarnya dengan melakukan hal-hal yang negatif. Merekalah orang-orang yang frustasi karena pernah mendapatkan nilai merah di raportnya.
Wahai ibu dan bapak guru.... bayangkanlah masa depan mereka. Bayangkanlah bahwa meraka adalah anak-anak anda. Masa depan mereka masih panjang. Bantulah mereka meraih impiannya, jangan malah dihancurkan. Sudah menjadi tugas anda sebagai bapak dan ibu guru, membuat mereka yang tidak tahu menjadi tahu, mereka yang belum paham menjadi paham. Belajarlah untuk menjadi guru yang profesional..... Cobalah beberapa cara mengajar yang menyenangkan.... Guru itu profesi mulia..... didiklah siswa siswa anda dengan penuh cinta.

Sabtu, 31 Januari 2009

sahabat itu....

Sahabat itu....
Tidak pernah rela sahabatnya menderita
Sahabat itu....
Selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi sahabatnya
Sahabat itu....
Selalu siap mendengarkan
Sahabat itu.....
Menerima kondisi sahabatnya apa adanya
Sahabat itu....
Tempat berbagi suka dan duka
Sahabat itu....
tanpa pamrih menolong
Persahabatan itu lebih abadi
Persahabatan itu tidak akan pernah terputus ikatan batinnya



Thank's for being my best friend in my life

Kamis, 08 Januari 2009

sistem pendidikan di Jepang

Cerita ini saya dapatkan dari salah seorang tua siswa di SD Cendikia Muda pada acara Parent Teacher Conference (PTC). Acara ini merupakan pertemuan orang tua dan guru untuk sharing pengalaman dalam mendidik anak baik di sekolah maupun di rumah.
Perbedaan mencolok mengenai pendidikan di Jepang menurut ayahnya Adila adalah di Jepang lebih banyak praktek daripada teori, dan itu dimulai sejak TK kecil. Contoh sederhananya adalah memlihara binatang. Anak-anak harus mencari sendiri makanan binatang tersebut, mengamati perkembangannya dan terakhir mempresentasikannya melalui gambar. Jadi sejak kecil anak belajar untuk mencintai buku dan memiliki motivasi untuk belajar, meskipun waktu kecil motivasinya hanya sebatas agar hewan peliharaannya tidak mati.
Pelajaran kedua yang dapat diambil adalah tidak ada segmentasi dalam belajar. Artinya, anak bisa belajar dimana saja, kapan saja. Belajar bukan sekedar kegiatan formal di dalam kelas. Memang sedikit merepotkan pada awalnya, karena orang tua harus selalu menjawab pertanyaan anak-anaknya atau membantu mencarikan jawabannya. Hal seperti ini ternyata membuat anak-anak bisa konsisten, di rumah dan di sekolah prilakunya akan sama.
Pelajaran ketiga adalah di Jepang tidak ada persaingan individu. Semua perlombaan dilakukan secara berkelompok sehingga orang Jepang terkenal dengan team worknya yang solid. Di Jepang tidak ada istilah anak berbakat, anak pintar atau anak bodoh. Yang ada hanyalah anak rajin dan anak malas.
Yang unik lagi dari sistem pendidikan di Jepang adalah dominannya pelajaran olaharaga. Ternyata olahraga ini berguna untuk menghadapi alam Jepang yang keras. Ayahnya Adila bercerita bahwa di Jepang sementara ia memakai baju hangat ketikan musim dingin, anak-anak dengan santainya hanya menggunakan kaos. Olahraga juga yang membuat orang Jepang memiliki daya tahan yang tinggi dalam belajar dan bekerja. Wah, ini harus ditiru nih.....
Banyak sekali keunggulan sistem pendidikan di Jepang yang bisa diadopsi di Indonesia, meskipun tidak semua bisa diterapkan.